Angklung: Warisan Budaya Dunia Tak Benda (2010)
Angklung adalah alat musik yang terdiri dari dua hingga empat tabung bambu yang digantung di dalam rangka bambu dan dijalin dengan tali rotan.
Tabung bambu tersebut dipotong sedemikian rupa untuk menghasilkan satu nada dan dimainkan dengan cara digoyangkan.
Dalam pembuatan Angklung, masyarakat memiliki kearifan lokal. Bambu hitam khusus untuk membuat Angklung dipanen selama dua minggu dalam setahun sekali pada saat musim jangkrik bernyanyi.
Bambu dipotong setidaknya tiga ruas di atas tanah, untuk memastikan agar akarnya tetap hidup.
Ukuran Angklung yang berbeda-beda mengeluarkan bunyi nada yang berbeda mulai dari dua nada, tiga nada, empat nada dan lima nada (pentatonik).
Setiap Angklung memiliki satu note nada. Untuk memainkan sebuah lagu/ melodi, beberapa pemain harus melakukan kolaborasi bersama.
Angklung tradisional menggunakan tangga nada pentatonik, tetapi pada tahun 1938 musisi Daeng Soetigna memperkenalkan Angklung dengan menggunakan tangga nada diatonis, yang dikenal sebagai Angklung Pak Daeng.
Berkembang luas di tengah-tengah masyarakat Sunda, Angklung sangat erat kaitannya dengan adat istiadat tradisional, seni dan identitas budaya di Indonesia khususnya Sunda.
Angklung dimainkan pada upacara-upacara tradisional seperti menanam padi, panen dan acara khitanan.
Masyarakat Sunda memainkan Angklung pada tradisi tanam dan panen padi untuk mengundang Dewi Sri agar berkenan turun ke Bumi, memberikan berkah kesuburan dan kemakmuran.
Sejak tahun 1960-an, Angklung telah ditetapkan pemerintah sebagai sarana pendidikan meskipun belum masuk dalam kurikulum pendidikan formal sebagai muatan lokal.
Proses pengajuan Angklung sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda UNESCO melibatkan banyak pihak seperti Puslitbang Kebudayaan, pakar ICH-UNESCO, penerus Angklung dan praktisi Angklung.
Harry Waluyo selaku Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan menjadi ketua tim penyusun berkas Angklung dibantu oleh Noegroho, Agus Sudarmaji sebagi tim administrasi, Dloyana Kusumah, Wawan Gunawan, Ihya Ulumuddin dan Gaura Mancacaritadipura sebagai tim peneliti, serta Taufik Udjo sebagai penerus tradisi Angklung dari Saung Udjo dan Obby AR. Wiramihardja selaku Master Angklung.
Pada sidang Komite Intergovernmental Committee (IGC) untuk Penyelamatan Warisan Budaya Tak Benda ke-5 di Nairobi Kenya, 15 – 19 November 2010, UNESCO mengakui Angklung dan memasukannya dalam Representative List Warisan Budaya Tak Benda Manusia.
Angklung dan musikalitasnya dinilai sebagai bagian inti dari identitas budaya masyarakat di Jawa Barat dan Banten.
Memainkan Angklung mengandung nilai-nilai dasar kerjasama, saling menghormati dan keharmonisan sosial.
Dimasukkannya Angklung, dalam Daftar Representatif UNESCO, dapat berkontribusi pada kesadaran yang lebih besar akan pentingnya Warisan Budaya Tak Benda dan mempromosikan nilai-nilai di dalamnya.
Pengakuan dunia ini diharapkan dapat meningkatkan kerja sama antara pelaku, penggiat, penerus dan otoritas terkait di berbagai tingkatan.
Tujuannya adalah untuk menjaga kelestarian Angklung dengan pendidikan formal atau non-formal, melalui pertunjuk kan dan mendorong adanya keahlian pembuatan Angklung dan budidaya bambu yang berkelanjutan.
Angklung dapat menjadi media pembelajaran karena musik angklung bersifat kolaboratif.
Antar pemain dalam satu grup didorong untuk kerja sama dan saling menghormati, disiplin, tanggung jawab, konsentrasi, merangsang pengembangan imajinasi dan ingatan, serta perasaan seni dan musik.
Secara membanggakan, Angklung pernah ditampilkan di berbagai acara internasional semisal Forum Regional ASEAN yang ke-18 di Bali tahun 2011 yang dihadiri Sekretaris Negara Amerika Serikat, Hillary Clinton dan pada saat Hari Ulang Tahun ke-5 Hari Angklung Nasional, pada tanggal 17 Nopember 2015, Angklung tampil di teater prestisius Odeon Paris Prancis.
Terima Kasih.
Post a Comment