Akulturasi: Pengertian, Konsep, dan Strateginya
Boedaja - Selamat Datang di Blog Boedaja, pada kesempatan kali ini Admin akan membahas tema tentang Akulturasi: Pengertian, Konsep, dan Strateginya.
Tanpa berbasa-basi lagi, silahkan Anda menyimak penjelasan Akulturasi: Pengertian, Konsep, dan Strateginya di bawah ini:
Pengertian Akulturasi
Akulturasi dapat dideskripsikan sebagai suatu tingkat dimana seorang individu mengadopsi nilai, kepercayaan, budaya dan praktek- praktek tertentu dalam budaya baru (Diaz & Greiner, dalam Nugroho dan Suryaningtyas, 2010).
Menurut Redfield, Linton dan Herskovits (dalam S.J, 1984) akulturasi memahami fenomena yang terjadi ketika kelompok individu yang memiliki budaya yang berbeda datang ke budaya lain kemudian terjadi kontak berkelanjutan dari sentuhan yang pertama dengan perubahan berikutnya dalam pola kultur asli atau salah satu dari kedua kelompok.
Sedangkan Berry (2005) mengatakan bahwa akulturasi adalah sebuah proses yang merangkap dari perubahan budaya dan psikologis yang berlangsung sebagai hasil kontak antara dua atau lebih kelompok budaya dan anggotanya.
Pada level kelompok akulturasi melibatkan perubahan dalam struktur sosial dan institusi. Sedangkan pada level individu akulturasi melibatkan perubahan perilaku.
Pengertian berikutnya mengenai akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. (Wikipedia).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) akulturasi adalah Proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu.
Sementara itu, dalam buku Modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Secara sederhana, akulturasi adalah adanya budaya asing yang masuk ke dalam budaya sendiri sehingga perlahan-lahan akan diterima oleh anggota masyarakat tanpa harus menghilangkan karakter kebudayaan itu sendiri.
Namun, kehadiran akulturasi pada suatu wilayah bisa memunculkan beberapa masalah, seperti berikut ini:
- Permasalahan dalam mencatat akulturasi pada masyarakat;
- Masalah tentang unsur-unsur yang dapat diterima dan unsur-unsur yang tidak dapat diterima oleh masyarakat;
- Masalah pergantian unsur-unsur yang mudah diganti dan sulit diganti; dan
- Masalah yang berkaitan dengan perselisihan antar masyarakat.
Konsep Akulturasi
Berry mencatat 2 (dua) pemahaman penting terkait dengan konsep akulturasi, yaitu sebagai berikut:
Pertama adalah konsep akulturasi yang mencoba memahami berbagai fenomena yang dihasilkan oleh kelompok individu yang memiliki budaya berbeda manakala kelompok individu tersebut memasuki budaya baru, sehingga mengakibatkan perubahan-perubahan pada pola budayanya yang asli.
Dengan dasar konsep tersebut, akulturasi dibedakan dari perubahan budaya dan juga juga dibedakan dari asimilasi.
Akulturasi dilihat sebagai bagian dari konsep yang lebih luas mengenai masalah perubahan budaya.
Kedua adalah konsep akulturasi yang diawali dengan hubungan antara dua atau lebih sistem budaya.
Dalam konteks ini, perubahan akulturatif dipahami sebagai konsekuensi dari perubahan budaya.
Hal tersebut mungkin diakibatkan oleh sebab-sebab yang tidak kultural, seperti halnya perubahan ekologis atau demografis.
Dengan dasar konsep tersebut, akulturasi mencakup perubahan yang mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan masalah budaya, seperti halnya masalah ekologis.
Pada level individu seseorang harus mempertimbangkan perubahan psikologis yang terjadi dan pengaruh adaptasinya pada situasi yang baru.
Dalam mengidentifikasi perubahan tersebut dibutuhkan contoh dari suatu populasi dan juga perlu mempelajari individu-individu yang terlibat dalam proses akulturasi.
Perubahan-perubahan tersebut dapat menjadi suatu rangkaian perubahan yang dengan mudah dapat diselesaikan (seperti: cara berbicara, cara berpakaian, ataupun cara makan), tetapi dapat juga menjadi suatu pola rangkaian yang problematic sifatnya yang menghasilkan stress- akulturatif sebagaimana tampak dalam bentuk ketidakpastian, kecemasan, dan depresi.
Proses adaptasi yang terjadi dapat berbentuk adaptasi internal atau psikologis, tetapi dapat juga berbentuk adaptasi sosiokultural.
Akulturasi budaya menunjuk pada perilaku individu atau kelompok individu yang berinteraksi dengan budaya tertentu, sementara akulturasi psikologis menunjuk pada dinamika intrapersonal dalam diri tiap individu yang menghasilkan berbagai reaksi berbeda antara yang satu dengan yang lain, meskipun mereka berada dalam wilayah akulturasi yang sama.
Strategi Akulturasi
Ada 4 (empat) strategi akulturasi yang dipaparkan oleh Berry (2005), yaitu strategi asimilasi, strategi separasi, strategi integrasi dan strategi marginalisasi.
- Strategi asimilasi terjadi ketika individu tidak berkeinginan memelihara identitas kulturalnya dan lebih memilih interaksi harian dengan budaya lain. Kebalikannya adalah startegi separasi.
- Strategi separasi terjadi ketika individu menghidupi nilai-nilai yang ada pada budaya aslinya dan pada waktu yang bersamaan menghindari berinteraksi dengan yang lain.
- Strategi integrasi terwujud ketika seseorang memiliki ketertarikan untuk memelihara budaya aslinya selama membangun interaksi harian dengan kelompok lain.
- Menurut Berry, strategi marginalisasi terjadi ketika kemungkinan untuk memelihara budaya aslinya dan kemungkinan untuk berinteraksi dengan kelompok lain sangat kecil.
Semua strategi yang dijabarkan tersebut memiliki beberapa asumsi, diantaranya adalah sebagai berikut:
Asumsi pertama adalah kelompok yang tidak dominan dan anggota- anggotanya memiliki kebebasan untuk memilih cara ber-akulturasi.
Integrasi terjadi jika ada pilihan bebas atau bisa juga terjadi jika kelompok yang dominan memiliki keterbukaan dan orientasi inklusif pada keragaman budaya sedemikian rupa sehingga kelompok yang tidak dominan dapat berperan.
Asumsi yang kedua adalah kelompok yang tidak dominan melakukan adopsi nilai-nilai dasar yang ada pada kelompok sosial yang lebih besar, dan pada waktu yang bersamaan kelompok yang dominan melakukan adaptasi atas institusi internalnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan semua anggota kelompoknya yang sekarang hidup dalam situasi masyarakat yang plural.
Dengan kata lain, semua strategi tersebut terjadi jika suatu masyarakat bersifat multikultur dan memiliki prakondisi psikologis yang dipersyaratkan, seperti halnya: tingkat penerimaan yang besar, taraf prasangka yang rendah, berpikiran positif terhadap kelompok etnokultural lain, dan memiliki kedekatan pada kelompok sosial yang lebih besar.
Berry menyatakan bahwa strategi integrasi (dan juga strategi separasi) dapat diwujudkan manakala anggota lain dari kelompok etnokultural yang dimiliki oleh seseorang berkeinginan untuk memelihara warisan budaya kelompoknya.
Dalam konteks ini strategi integrasi dan separasi hanya terjadi jika ada kolektivitas, sementara untuk strategi asimilasi lebih bersifat individual.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1974, muncul dimensi ketiga (Dimensi pertama adalah ”pemeliharaan warisan dan identitas budaya” dan dimensi kedua adalah ”hubungan antar kelompok”) yang ditambahkan, yakni pengharapan akulturasi dan peran penguasa yang diperankan oleh kelompok dominan dalam mempengaruhi cara bagaimana proses saling berakulturasi dapat diwujudkan.
Penambahan dimensi ketiga ini menghasilkan satu sudut pandang yang berhubungan dengan kelompok yang lebih besar.
Dari sudut pandang tersebut, ketika proses asimilasi dilihat dari kelompok non dominan yang berakulturasi, maka proses itu disebut melting- pot.
Akan tetapi, jika proses akulturasi itu diminta oleh kelompok yang dominan, maka proses itu disebut pressure-cooker.
Ketika separasi dipaksakan oleh kelompok dominan, proses itu dinamakan segresi, dan ketika marginalisasi dipaksakan oleh kelompok dominan, proses itu disebut ethnocide.
Akhirnya, manakala keragaman diterima sebagai gambaran dari masyarakat yang lebih besar sebagai sebuah keseluruhan, proses integrasi itu dinamakan multikulturalisme.
Terima Kasih.
#dari berbagai sumber.
Post a Comment