Sekilas Tentang Konvensi 2005

Table of Contents

Konvensi 2005


Boedaja - Tema pada artikel kali ini adalah mengenai informasi Sekilas Tentang Konvensi 2005.

Tema pada artikel yang berjudul Sekilas Tentang Konvensi 2005 ini akan Admin bagikan informasinya untuk Anda semua.

Deskripsi Konvensi 2005

Secara historis, lahirnya Konvensi 2005 bermula dari Deklarasi UNESCO pada tahun 2001 tentang Cultural Diversity

Deklarasi ini untuk pertama kali mengakui bahwa keragaman kultural merupakan warisan kemanusiaan bersama (common heritage of humanity). 

Keragaman kultural itu sendiri merupakan bagian dari pluralitas yang merupakan tonggak utama kehidupan demokrasi dunia. 

Perlindungan keragaman kultural, dengan demikian, berarti menjamin keberlanjutan kehidupan dunia yang bebas dan demokratis. 

Keragaman kultural ini akan dijamin dengan adanya kebebasan berekspresi, multibahasa, pluralisme media, akses yang setara terhadap ekspresi artistik, pengetahuan ilmiah dan teknologi, serta kesempatan berbagai budaya untuk tampil dalam berbagai media ekspresi. 

Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan-kebijakan budaya sebagai pendorong, terutama untuk produksi dan penyebaran keanekaragaman barang dan jasa budaya. 

Deklarasi UNESCO tersebut segera diikuti dengan beberapa inisiatif internasional dalam kerangka membuat standard-setting global

Pada tahun 2005, konvensi yang diberi nama The Protection and Promotion of The Diversity of Cultural Expressions ini ditetapkan pada General Conference UNESCO sesi ke-33 di Paris. 

Konvensi ini merupakan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum, untuk memastikan seniman, profesional budaya, praktisi dan warga negara di seluruh dunia dapat membuat, memproduksi, menyebarkan dan menikmati berbagai barang budaya, layanan dan kegiatan, termasuk milik mereka sendiri. 

Tujuan konvensi, antara lain, adalah untuk melindungi dan mempromosikan keragaman ekspresi budaya, menciptakan kondisi budaya yang kondusif, mendorong dialog antar budaya, menumbuhkan spirit pertukaran budaya, menghormati keragaman ekspresi budaya dan meningkatkan kesadaran akan nilainya di tingkat lokal, nasional dan internasional serta menegaskan kembali pentingnya hubungan antara budaya dan pembangunan untuk semua negara, terutama untuk negara berkembang. 

Sementara, prinsip-prinsip yang dianut di antaranya adalah prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, prinsip kedaulatan, kesetaraan martabat dan penghormatan terhadap semua budaya, prinsip solidaritas dan kerja sama internasional, serta prinsip ekonomi dan budaya pembangunan. 

Isu penting dari konvensi ini adalah kesadaran bahwa produk, kegiatan dan jasa budaya memiliki nilai ekonomi yang penting. 

Mereka bukan hanya sekedar objek perdagangan atau produk samping dari pembangunan, tetapi juga berpotensi sebagai sumber daya utama untuk pembangunan berkelanjutan. 

Menurut UNESCO, sektor budaya dan industri kreatif adalah salah satu sektor yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi di dunia. 

Perputaran uang di sektor ini secara global mencapai USD 4,3 triliun per tahun, dengan lebih dari 30 juta pekerja aktif, serta menyumbang pertumbuhan ekonomi global dunia sebesar 6,1%. 

Sektor budaya dan industri kreatif telah menjadi hal yang penting dalam pertumbuhan ekonomi yang inklusif, mengurangi ketidaksetaraan, dan memenuhi Agenda 2030. 

Konvensi 2005 menjadi ‘jantung’ bagi perkembangan budaya dan ekonomi kreatif di dunia.

Setiap negara yang meratifikasi konvensi ini berhak dan berkewajiban untuk membuat payung hukum, mengintegrasikan budaya dalam kebijakan nasional, membuat laporan berkala setiap 4 tahun sekali (quadrennial periodic report, QPR), membuat program sosialisasi, dan membayar iuran tahunan sebesar 1% iuran UNESCO. 

UNESCO akan memberikan bantuan, dalam bentuk program capacity building dan pendanaan melalui badan IFCD (International Fund for Cultural Diversity). 

Implementasi Konvensi dievaluasi dalam sidang Intergovernmental Committee/ Komite Antarpemerintah (IGC) yang diselenggarakan setiap tahun. 

IGC Konvensi 2005 bertindak atas wewenang Conference of Parties

Badan ini beranggotakan 24 negara yang dipilih setiap 4 tahun sekali. 

Selain bertugas mengevaluasi, Intergovernmental Committee juga dapat mengembangkan dan merevisi pedoman operasional konvensi.

Indonesia dan Konvensi 2005

Konvensi ini diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2012 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 78 tahun 2012 Tentang Pengesahan Convention on The Protection and Promotion of The Diversity of Cultural Expressions

Konvensi dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai rujukan untuk pembuatan kebijakan dan langkah-langkah pengembangan kebudayaan nasional. 

Berikut di bawah ini adalah beberapa milestones yang bisa dicatat adalah sebagai berikut: 

Sidang Umum ke-5 IGC Konvensi tahun 2015

Pada Sidang Umum ke-5 IGC Konvensi tahun 2015, Indonesia berhasil terpilih sebagai anggota Komite IGC Konvensi. 

Kesempatan ini digunakan Indonesia untuk memberikan gagasan dan ide untuk pengembangan implementasi Konvensi hingga mencapai tujuan yang sudah digariskan. 

Proyek yang didanai oleh Swedia

Melalui proyek yang didanai oleh Swedia, UNESCO memberikan bantuan peningkatan kapasitas dalam pembuatan kebijakan kebudayaan dan pelaporan implementasi Konvensi 2005. 

Proyek ini memberikan kesempatan pada Indonesia untuk mensinergikan berbagai inisiatif implementasi konvensi, menetapkan base-line program, memperkuat sistem informasi keragaman ekspresi budaya, membangun dialog kebijakan terbuka tentang budaya melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan sektor budaya, dan mendefinisikan tindakan prioritas untuk rencana di tahun-tahun berikutnya. 

Proyek ini berjalan dari tahun 2016 - 2018 dengan 3 (tiga) mekanisme, yaitu: 

  • melaksanakan pertemuan konsultasi dengan berbagai stakeholder; 
  • menyelenggarakan lokakarya; serta 
  • membuat laporan dan presentasi. 

Hasil-hasil utama dari proyek ini adalah tersedianya QPR Indonesia yang komprehensif. 

Secara tidak langsung, proyek ini menjadi salah satu acuan untuk pembuatan kebijakan nasional yang mengintegrasikan kebudayaan, turis dan ekonomi kreatif. 

Tahun 2018, Indonesia melakukan survei dan riset besar-besaran terhadap 350 - 500 daerah untuk melihat sumber daya kebudayaan, infrastruktur serta potensi kontribusinya terhadap pengurangan angka kemiskinan, kesetaraan gender dan kesejahteraan masyarakat secara umum. 

Survei ini adalah bentuk implementasi Konvensi 2005 dan juga menjadi rujukan untuk pembuatan Rencana Pembangunan Nasional. 

Culture for Development Indicators (CDIs) UNESCO

Berbasis Culture for Development Indicators (CDIs) UNESCO yang dimulai tahun 2009, Indonesia juga telah mengembangkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) yang merupakan satu-satunya di dunia. 

IPK yang diluncurkan tahun 2019 yang lalu ini diukur melalui indikator ekonomi, pendidikan, tata pamong, ketahanan sosio-kultural, kebebasan ekspresi, budaya membaca dan melek aksara serta warisan budaya. 

IPK memainkan peran kunci dalam mengintegrasikan Kebudayaan dalam pengembangan kebijakan-kebijakan nasional. 

Inisiatif Kolombia

Atas inisiatif Kolombia, Indonesia dan Uni Emirat Arab bersama-sama menyelenggarakan side event untuk mempromosikan Ekonomi Kreatif berbasis kebebasan ekspresi budaya kepada partisipan dari 13th Session of the 2005 Convention Committee on Protection and Promotion of the diversity of cultural expressions tanggal 12 Februari 2020. 

Seperti diketahui, ketiga negara berpartisipasi aktif dalam pengembangan ekonomi kreatif dunia. 

Indonesia menjadi tuan rumah 1st World Conference on Creative Economy di Bali, 2018, dan inisiator resolusi PBB tentang 2021 as International Year of Creative Economy for Sustainble Development

Kolombia menyelenggarakan World Summit on Creative Economy tahun 2019, dan UEA adalah calon tuan rumah 2nd World Conference on Creative Economy.

Side event dihadiri oleh sekitar 200 partisipan pertemuan Konvensi 2005, dan diisi dengan presentasi perkembangan ekonomi kreatif dari masing-masing negara penyelenggara, dan cocktail dengan makanan khas dari Indonesia, Kolombia dan UEA. 

Indonesia diwakili oleh Wadetap RI untuk UNESCO. 

Kolombia menampilkan Wakil Menteri Ekonomi Kreatif mereka. 

Sementara Uni Emirat Arab juga diwakili oleh Dewatap mereka untuk UNESCO.

Demikianlah informasi di atas tentang Sekilas Tentang Konvensi 2005 yang dapat Admin bagikan informasinya kepada Anda semua, semoga dapat bermanfaat.

Terima kasih.

Post a Comment