UNESCO DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN INDONESIA
Acara budaya Presenting Indonesian Heritage to the World di UNESCO House, Paris, September 2019 |
Sektor kebudayaan bisa dikatakan sebagai lokomotif utama bagi hubungan kerjasama Indonesia-UNESCO selama ini.
Dua program kerjasama yang monumental adalah: Konferensi Antar Pemerintah ASIACULT tentang Kebijakan Budaya di Asia yang diselenggarakan pada bulan Desember 1973 di Yogyakarta dan Restorasi Borobudur dari tahun 1973-1983.
ASIACULT memberi inspirasi penyusunan kebijakan kebudayaan nasional negara-negara anggota UNESCO, termasuk Indonesia.
ASIACULT juga menyoroti untuk pertama kali peran kebijakan kebudayaan dalam membangun hubungan antara kemajuan teknologi dan identitas budaya.
Restorasi candi Borobudur yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1983 diawali dengan evaluasi tentang kondisi candi oleh tim ahli UNESCO yang diundang oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1968.
Laporan evaluasi ini menjadi salah satu bahan kampanye UNESCO tentang pentingnya perlindungan dan pelestarian situs, monumen dan bangunan warisan budaya oleh seluruh warga dunia.
Kampanye pada tahun 1972, dengan tema International Safeguarding of Borobudur, berhasil mendapatkan bantuan finansial dari Jepang, Jerman Barat, Belgia, Australia dan Inggris Raya (sebesar USD 6,5 juta).
Bantuan ini termasuk salah satu wujud kepedulian dan kerjasama antar negara pertama dalam sejarah perlindungan warisan budaya yang memiliki nilai-nilai universal.
Dengan demikian, kerja sama multilateral dalam restorasi Borobudur bisa dianggap sebagai salah satu tonggak sejarah kelahiran Konvensi 1972 tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam (the Protection of the World Cultural and Natural Heritage) atau yang lebih dikenal sebagai Konvensi tentang Warisan Dunia saja.
Konvensi ini disahkan pada tahun bersamaan dengan kampanye Borobudur dalam Sidang Umum UNESCO ke-32.
Indonesia sendiri baru meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1989 dan mendaftarkan Borobudur sebagai warisan dunia UNESCO pada tahun 1991.
Namun, momen bersejarah tersebut telah mendorong pemerintah menjadikan sektor kebudayaan sebagai sektor utama dalam pembangunan nasional, terutama pembangunan identitas dan kepribadian bangsa, dan perlindungan warisan budaya adalah salah satu kendaraan penting untuk tujuan ini.
Menyusul inskripsi Borobudur, Indonesia meningkatkan perlindungan terhadap warisan budaya yang dimiliki melalui upaya penetapan cagar-cagar budaya dan inskripsi warisan budaya Indonesia sebagai warisan dunia UNESCO.
Upaya-upaya ini dikembangkan terus menerus sesuai dengan perkembangan standard-setting UNESCO.
Acara budaya Presenting Indonesian Heritage to the World di UNESCO House, Paris, September 2019 |
Pada tahun 2007, pemerintah resmi meratifikasi Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda tahun 2003, melalui Perpres No 78 tahun 2007.
Selanjutnya pada tahun 2012, Indonesia mengesahkan Konvensi UNESCO tentang Proteksi dan Promosi Keanekaragaman Ekspresi Budaya tahun 2005.
Indonesia sendiri membuat berbagai peraturan perundangan dan lembaga yang mengawal dan mengembangkan kebudayaan, dan menjadi payung dari berbagai konvensi ini.
Diantaranya adalah UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Pada tingkat yang lebih teknis, seperti untuk Warisan Dunia, Pemerintah Indonesia menerbitkan Keppres Nomor 9 tahun 2014 tentang Struktur Organisasi Kemenko PMK yang di dalamnya ada organ Deputi Bidang Koordinasi Bidang Kebudayaan, Asdep Warisan Budaya dan Kabid Sejarah dan Warisan Dunia.
Di samping itu, Indonesia juga tengah mempersiapkan Badan Pengelola Warisan Dunia yang berfungsi dalam waktu dekat.
Ratifikasi dari konvensi-konvensi ini pada gilirannya tidak hanya menjadikan warisan budaya, dan ekspresi budaya Indonesia sebagai warisan yang harus dilindungi oleh warga dunia, tetapi juga telah mendorong kreatifitas masyarakat untuk mengembangkan kehidupan sosio-ekonomi.
Warisan-warisan budaya tak benda dan ekspresi budaya (pertunjukan, kerajinan tangan, festival, dan lain-lain) telah menjadi aset utama dalam pengembangan ekonomi kreatif.
UNESCO sendiri terkesan dengan pencapaian Indonesia ini, dan pada tahun 2019, melalui ADG Kebudayaan menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan Indonesia dalam penyusunan Resolusi PBB tentang Tahun Ekonomi Kreatif 2021. Hal ini disampaikan dalam berbagai kesempatan, antara lain pada Sidang WHC ke-43 di Baku, Azerbaijan.
Kerja sama Indonesia-UNESCO dalam kebudayaan tentunya tidak terbatas hanya dalam inskripsi situs, monumen, bangunan maupun elemen kebudayaan.
Indonesia juga memanfaatkan standard-setting UNESCO untuk pengembangan kebijakan-kebijakan dan panduan kebudayaan.
Dengan referensi hasil proyek UNESCO tentang Kebudayaan sebagai Indikator Pembangunan (Culture for Development Indicators) yang diselenggarakan antara tahun 2009-2013, Indonesia mengembangkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) pada tahun 2019.
Indeks ini bertujuan untuk mengukur capaian pembangunan kebudayaan nasional sesuai amanat UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Sejauh ini, IPK Indonesia adalah satu-satunya IPK yang sudah dikembangkan di dunia. Indonesia setapak lebih maju dalam mewujudkan konsep Kebudayaan sebagai roh dan ukuran kemajuan sosial, ekonomi, sains dan pendidikan suatu bangsa seperti gagasan UNESCO.
Dirjen Kebudayaan, Dr. Hilmar Farid telah memperkenalkan IPK ini pada UNESCO dalam kesempatan Pertemuan Menteri Kebudayaan di sela-sela Sidang Umum UNESCO ke-40 tahun 2019.
Saat ini, hubungan sektor kebudayaan Indonesia-UNESCO pada respons terhadap wabah Covid-19.
Indonesia berpartisipasi dalam pertemuan virtual Menteri Kebudayaan pada bulan April 2020 yang lalu untuk berbagi pemikiran dan praktik baik.
Dirjen Kebudayaan dalam kesempatan tersebut menyampaikan 4 (empat) poin respons Indonesia, yaitu:
- Respons langsung,
- Prioritas jangka pendek dan jangka menengah,
- Program-program utama,
- Kebijakan dan program kebudayaan pasca Covid-19.
Diantara respons langsung adalah pengaktifan saluran media sosial milik pemerintah untuk keperluan aktifitas seniman dan pelaku seni, seperti promosi, distribusi, diskusi, pertunjukan dan lain-lain.
Untuk keperluan jangka pendek dan menengah, pemerintah, antara lain melakukan pendataan artis terdampak, penyusunan kebijakan nasional, menciptakan lapangan kerja baru secara masif, dan lain-lain.
Program-program utama yang akan dijalankan mencakup Rekam Pandemi (melibatkan lebih dari 40 ribu pembuat film) dan Jalur Rempah (melibatkan 15 ribu praktisi dan 200 titik rempah dari Papua sampai Amsterdam dan Pasifik Selatan).
Kemajuan kebudayaan adalah wujud kemajuan suatu bangsa dan kemajuan bangsa-bangsa yang harmonis akan menghasilkan dunia yang lebih beradab, damai dan berkelanjutan.
Indonesia percaya bahwa kerjasama antar bangsa-bangsa di sektor kebudayaan melalui UNESCO akan mempercepat realisasi konsep filosofis tersebut.
Oleh karena itu Indonesia akan selalu hadir dan mendukung UNESCO.
Terima Kasih.
Post a Comment