Eksistensi Noken di Tengah Modernisasi

Table of Contents

Noken Papua


Boedaja - Eksistensi Noken di Tengah Modernisasi adalah tema atau judul dari artikel kali ini.

Pada kesempatan ini Admin akan membagikan informasi terkait Eksistensi Noken di Tengah Modernisasi.

Bagi orang Papua noken merupakan representasi cerminan sebuah kehidupan bermasyarakat. 

Seperti pada isi Noken, biasanya di dalam Noken berisi barang-barang kebutuhan hidup mereka sehari-hari, contohnya seperti hasil kebun, berburu hingga barang kebutuhan yang dapat menunjang kelangsungan hidup mereka ke depan.

Dalam konteks tersebut terlihat bahwa selain sebagai alat menyimpan, Noken juga memiliki fungsi seperti ekonomi, sosial, dan budaya. 

Berpijak dari ketiga aspek tersebut, terlihat bahwa Noken tak hanya sebagai sebuah kerajinan tradisional semata, melainkan telah merambah pada konteks yang lebih luas. 

Oleh karena itu, kerajinan tradisional Noken bagi orang Papua mempunyai nilai yang cukup tinggi, sehingga Noken dijadikan sebagai simbol keidentitasan mereka.

Noken merupakan hasil karya budaya yang mempunyai nilai kesenian tinggi di masyarakat. 

Hal ini  dapat terlihat dari proses pembuatannya yang dilakukan dengan teliti, penuh kesabaran, dan ketekunan. 

Sebagai  simbol identitas, Noken memiliki nilai budaya yang tinggi, seperti pada saat acara-acara upacara adat pengangkatan kepala suku, upacara penyambutan tamu dan sebagai pelengkap dalam perkawinan (mas kawin).

Oleh karena itu, Noken sebagai kerajinan tradisional orang Papua mempunyai nilai artistik yang mengandung simbol atau makna tertentu, sehingga dengan makna yang terkandung dalam Noken terdapat harapan-harapan tertentu bagi orang yang menggunakannya, seperti harapan agar selalu mengingat kampung halaman hingga rasa rindu kepada orangtua (Ariani, 2013: 577-612).

Noken sebagai kerajinan khas Papua, memiliki bentuk yang beragam di setiap daerah.

Bentuknya yang unik dengan berbagai varian membuat Noken sangat familiar di bumi Cenderawasih. 

Di daerah Papua istilah kerajinan Noken berbeda-beda setiap daerah.

Perbedaan istilah setiap wilayah terletak pada bentuk atau motif dan bahan yang digunakannya. 

Contohnya seperti di daerah Biak dengan Paniai, bentuk atau motif Noken di wilayah tersebut sangat berbeda. 

Hal ini dapat terlihat dari bahan yang digunakan, di Biak menggunakan bahan tanaman jenis rerumputan (daun pandan dll), sedangkan di daerah Paniai banyak menggunakan bahan serat akar pohon dan jenis tanaman anggrek. 

Bagi orang Papua kerajinan Noken merupakan bentuk kreativitas dan ekspresi orang Papua yang terbentuk secara alami dalam sebuah ide, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kerajinan yang berkembang di masyarakat (Koentjaraningrat, 1999: 105).

Kerajinan tradisional Noken merupakan hasil dari karya, rasa, dan cipta manusia yang terbentuk melalui kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat (Soemardjan, 1974: 113). 

Menurut Soemardjan, karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan yang dibutuhkan manusia yang hasilnya diabdikan untuk kepentingan masyarakat. 

Rasa merupakan ekspresi manusia yang melahirkan berbagai kaidah dan nilai-nilai sosial yang diperuntukkan untuk memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat.

Selanjutnya adalah cipta, merupakan wujud mental dari kemampuan berpikir manusia dalam menghasilkan pengetahuan (Soekanto, 20016: 151-152).

Dari ketiga rumusan tersebut, terlihat bahwa semua karya, rasa, dan cipta merupakan sebuah unsur kebudayaan yang dapat menentukan kegunaan suatu benda yang disesuaikan dengan keperluan masyarakat.

Dari uraian di atas, Noken sebagai hasil dari ciptaan manusia tidak serta merta muncul begitu saja, melainkan melalui proses yang cukup panjang hingga terbentuk kerajinan Noken yang sempuma. 

Pengetahuan ini mereka asah melalui pengalaman-pengalaman hidup yang mereka kreasikan sesuai dengan kebutuhan. 

Orang Papua memiliki kemahiran menganyam dari kulit kayu, daun pandan, dan rumput rawa sudah dilakukan sejak lama. 

Fungsinya pun hanya sebagai alat angkut dan pelindung kepala, kemudian bertahap menjadi sebuah barang yang mempunyai nilai di dalam kehidupan bermasyarakat. 

Bagi orang Papua Noken sangat berharga, karena memiliki makna mengenai gambaran kehidupan mereka. 

Oleh karena itu, kerajinan Noken ini mereka terus kreasikan hingga kini.

Saat ini Noken tidak hanya terbuat dari bahan alam seperti serat kayu dan tumbuhan rerumputan, melainkan telah beranjak pada benang-benang pabrik seperti wol, nilon, dan lain-lain. 

Pergeseran tersebut tidak dapat terelakan, karena barang-barang olahan pabrik lebih mudah ditemukan dibanding bahan alam.

Proses pengerjaan dengan menggunakan bahan pabrik pun lebih singkat. 

Hal ini karena, apabila mereka menggunakan bahan alam mereka butuh waktu yang cukup lama dalam pembuatannya, bisa berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan karena proses yang rumit. 

Namun dengan menggunakan benang mereka dapat menyelesaikan kerajinan tersebut tidak sampai satu minggu tergantung bentuk dan motifnya.

Seiring perkembangan zaman, yang ditandai dengan masuknya teknologi di dalam masyarakat, secara langsung maupun tidak telah mengubah komponen kehidupan. 

Kondisi seperti ini tidak dapat terelakan, sebab perubahan akan terus ada sampai kapanpun baik dalam ranah sosial, budaya hingga ekonomi. 

Begitu pula dengan perilaku masyarakat, ketika ada tawaran peralihan teknologi, masyarakat lebih condong kepada sesuatu yang lebih modem dan instan. 

Noken sebagai kerajinan tradisional pun semakin bergeser baik secara nilai maupun fungsinya.

Modemisasi sebagai sebuah sistem kemajuan zaman secara langsung maupun tidak telah mengalihkan berbagai karya budaya seperti Noken. 

Hal ini karena, kebudayaan masyarakat yang alami semakin beralih dengan bahan-bahan olahan pabrik, sehingga sedikit demi sedikit pengrajin mulai meninggalkan bahan-bahan yang berasal dari alam. 

Ancaman ini seakan nyata, karena proses pemasaran benang pabrik telah masuk hampir keseluruh wilayah Papua, sehingga dapat ditemukan dengan mudah.

Selain bahan baku yang sudah beralih, pengrajin  kerajinan Noken pun sudah semakin terkikis. 

Hal ini karena pengrajin yang ada saat ini sudah berusia lanjut dan hanya sebagian yang masih berusia belia atau muda.

Dari hasil pengamatan, proses regenerasi yang dijalankan belum berjalan optimal.

Kondisi seperti ini tak dapat dipungkiri, karena kemajuan zaman telah membuat generasi muda terbawa arus modernisasi, dimana semua kebutuhan yang mereka inginkan dapat ditemukan dengan cara yang mudah. 

Perilaku ini pun berdampak pada semakin minimnya kesadaran dalam upaya pelestarian kebudayaan. 

Pengaruh kemajuan ini pun akhirnya membuat mereka melihat sesuatu dari sudut pandang ekonomis, seperti waktu dan uang, sehingga nilai-nilai artistik dari suatu kebudayaan semakin hilang.

Keberadaan pelaku budaya (dalam hal ini pengerajin Noken) mempunyai peranan penting dalam upaya pewarisan kemahiran.

Hal ini karena jika tidak ada pewarisan kemampuan, maka pengrajin Noken semakin terkikis. 

Bahkan tak jarang di wilayah tertentu sudah tidak ada lagi pengrajin yang mampu membuat Noken. 

Meskipun ada, itu hanya dilakukan oleh beberapa  mama-mama atau bapak-bapak yang sudah tua.

Upaya pelestarian pun terus digiatkan oleh para pelaku budaya dalam melestarikan Noken, salah satunya adalah pembuatan sanggar budaya. 

Dengan keberadaaan sanggar diharapkan kemahiran membuat Noken dapat tersalurkan sampai ke anak-anak, sehingga kemampuan mengayam dapat terasah ke semua lini di dalam masyarakat. 

Selain pembuatan sanggar, pelatihan Noken juga dilakukan melalui pembelajaran khusus di rumah-rumah Ondoafi (kepala suku) hingga ke sekolah-sekolah. 

Upaya ini terns dilakukan, namun belum berjalan secara optimal. 

Hal ini karena proses pelatihan tidak berjalan secara berkelanjutan, sehingga proses transformasi pengetahuan tidak berjalan efektif.

Untuk itu, dibutuhkan peran semua pihak dalam upaya pelestarian kerajinan tersebut agar tidak punah. 

Begitu pula peran masyarakat dalam mendorong generasi muda untuk berkreasi membuat kerajinan Noken dan mengenalkannya ke dunia luar.

Begitu pula dengan bahan baku yang berasal dari alam, harus tetap dijaga pengunaannya, sebab nilai sebuah kebudayaan atau kerajinan terlihat dari bahan utama yang digunakan. 

Oleh karena itu, keidentitasan Noken sebagai aset kebudayaan orang Papua harus dijaga keasliannya. 

Dengan memperlihatkan keaslian suatu budaya maka akan mencerminkan keidentitasan atau ciri dari suatu daerah, sehingga makna dan fungsinya tetap terjaga dengan baik.

Saat ini kerajinan Noken sedang mengalami masa transisi.

Kondisi ini terjadi dikarenakan makna dan nilai yang terkandung di dalam noken semakin memudar. 

Ini dapat dilihat dari bahan baku pembuatan noken yang mengalami pergeseran, yang dahulu bahan pembuatan berasal dari alam, kini beralih menggunakan bahan-bahan modern seperti wol, nilon, dan lain-lain. 

Dengan kemudahan yang diberikan membuat barang ini banyak digemari oleh masyarakat. 

Alasan ekonomis menjadi dasar mereka memilih bahan tersebut. 

Bahan dari pabrik memberikan nilai ekonomis yang tinggi bagi mereka, sebab proses pengerjaan menjadi lebih cepat dan tidak terlampau rumit dibanding dengan menggunakan bahan alami.

Dari penjelasan di atas tentang Eksistensi Noken di Tengah Modernisasi, perubahan sosial, budaya, dan ekonomi yang terjadi telah menggeser nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah Noken.

Seperti bahan baku pembuatan Noken, saat ini lebih banyak menggunakan benang dibanding bahan serat kayu dan tumbuhan rerumputan.

Selain itu pengrajin perempuan yang sedang beranjak dewasa, saat ini sudah tidak lagi dapat mengayam Noken. 

Sebagai salah satu unsur kebudayaan orang Papua, kemampuan dalam  membuat Noken tidak boleh hilang, melainkan hams dijaga dan dilestarikan keberadaannya baik dari bahan baku pembuatan hingga para pengrajinnya, sehingga makna dan nilai yang terkandung di dalam Noken tidak hilang termakan zaman. 

Oleh karena itu, sebagai bentuk pelestarian banyak pelaku budaya mendirikan sanggar-sangar sebagai wadah untuk mentransformasikan pengetahuan membuat Noken kepada anak-anak. 

Dengan keberadaan sanggar diharapkan minat untuk melestarikan kerajinan Noken semakin tinggi bagi generasi muda, sehingga kerajinan Noken dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.

Demikianlah informasi yang telah Admin bagikan di atas mengenai Eksistensi Noken di Tengah Modernisasi, semoga dapat bermanfaat.

Terima Kasih.


Daftar Referensi

Ariani, C., (2013). Simbol, Makna, dan Nilai Filosofis Batik Banyumas, dalam Jurnal Patrawidya Vol. 14 No. 3 Edisi September. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta.

Koentjaraningrat, (1999). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Soekanto, S., (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soemardjan, S. dan Soelaeman, S (ed)., (1974). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Post a Comment