Noken dan Tradisi Orang Papua

Table of Contents

Noken Papua


Boedaja - Noken dan Tradisi Orang Papua adalah informasi pada artikel kali ini yang akan Admin bagikan kepada Anda.

Untuk itu, silahkan Anda simak penjelasannya mengenai Noken dan Tradisi Orang Papua di artikel ini.

Noken Kerajinan Tradisional Orang Papua

Noken merupakan kerajinan tradisional yang dimiliki orang Papua. 

Hampir semua suku yang ada di Papua memiliki kerajinan sejenis ini dengan motif dan fungsi yang beragam di setiap wilayah. 

Noken merupakan warisan budaya tak benda orang Papua, karena dalam pembuatan Noken hanya dapat dibuat di wilayah Papua.

Kearifan lokal ini merupakan warisan budaya orang Papua yang sudah lama ada sejak masa lalu, dan telah menjadi satu kesatuan  yang tak terpisahkan dalam kehidupan mereka. 

Bagi orang Papua Noken memiliki banyak makna dan filosofi yang terkandung di dalamnya, sehingga kerajinan ini dijadikan simbol identitas.

Dalam kehidupan orang Papua kemahiran membuat Noken, mereka peroleh melalui seperangkat pengetahuan dan praktik-praktik yang berasal dari pengalaman hidup yang dilakukan secara terns menerus dengan alam (Ahimsa-Putra, 2008:12). 

Melalui pengalaman pengalaman ini, melahirkan pengetahuan lokal (local knowlegde) masyarakat dalam hal upaya membentuk berbagai kerajinan yang dapat menunjang kehidupan mereka, salah  satunya Noken (Indrawardana, 2012: 1-8).

Kerajinan tradisional Noken lahir melalui proses yang alami, ketika mereka membutuhkan alat untuk menyimpan, mereka membuat kantung sebagai alat untuk  menyimpan barang. 

Bercermin pada pemikiran Weber, inisiatif membuat Noken diprakarsai karena adanya ide yang ada di dalam pikiran manusia, baru kemudian mereka mencari bahan-bahan yang akan digunakan (Ritzer, 2004:110-115). 

Oleh karena itu, ketika muncul ide membuat tempat untuk menyimpan hasil berburu maupun berladang, mereka mencari bahan-bahan yang ada di hutan, lalu membentuknya menyerupai kantung yang berfungsi untuk menampung hasil bumi yang mereka dapat.

Bahan dasar pembuatan kantung atau noken pada masa lalu masih sangat tradisional dan berasal dari pohon-pohon yang tumbuh di sekitar mereka, seperti pohon pakis-pakisan, kelapa, dan lain-lain. 

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat, secara bertahap bahan-bahan untuk pembuatan Noken beralih menggunakan bahan yang  lebih kuat, seperti serat kayu dan tumbuhan rerumputan.

Bahan dasar serat kayu dan rerumputan banyak digunakan masyarakat, karena tumbuhan tersebut sangat kuat dan mudah ditemui di dalam hutan. 

Seperti di Pania, Noken anggrek sangat familiar di sana, sebab lokasi tempat tinggal mereka berada di atas Pegunungan Tengah, sehingga membuat tanaman ini banyak tumbuh  di wilayah tersebut. 

Oleh karena itu, tanaman anggrek banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membuat berbagai kerajinan, seperti Noken.

Pada proses pembuatan Noken di setiap daerah beragam.

Ada yang dilakukan dengan cara pengambilan langsung pada pohon, ada yang dijemur terlebih dahulu, direbus, dan ada yang dengan cara dipukul hingga terlihat serat kulit kayunya. 

Setelah serat kayu terbentuk baru dilakukan pemintalan hingga membentuk benang, kemudian proses selanjutnya adalah pewamaan.

Bahan dasar untuk pewamaan masih sangat tradisional,yakni dengan kapur, kulit bia (kulit kerang yang sudah ditumbuk halus), arang, kunyit dan bahan alam lainnya (Lihat  Kondologit dan Ishak, 2015:45). 

Pewarnaan disesuaikan dengan motif Noken yang akan digunakan, contohnya ketika mereka ingin mewamai Noken dengan warna merah, mereka menggunakan kapur dan sirih sebagai alat pewama.

Cara membuatnya adalah kapur dan sirih dihaluskan hingga berwama merah.

Kemudian helai benang serat kayu atau jenis tanaman rerumputan yang akan digunakan diwamai, setelah itu mereka keringkan dan dianyam hingga membentuk seperti kantung atau tas.

Noken memiliki bentuk yang beragam, mulai dari yang berukuran besar hingga kecil.

Ukuran Noken disesuaikan dengan fungsi dan kebutuhan si pemakai. 

Noken yang berukuran besar biasanya digunakan untuk menyimpan hasil kebun, kayu bakar hingga membawa bayi.

Sedangkan noken yang berukuran kecil digunakan untuk menyimpan pinang, sirih, dan keperluan pribadi lainnya. 

Dalam pembuatan kerajinan Noken tidak sembarangan orang yang dapat membuatnya. 

Hal ini karena, sebelum membuat Noken pengerajin harus terlebih dahulu mendapatkan pelatihan merajut dan mengayam. 

Proses latihan dilakukan agar keterampilan yang dimiliki terasah, sehingga mereka dapat dengan mudah membuat kerajinan tersebut.

Kemahiran membuat kerajinan Noken merupakan keahlian alam, sebab tradisi ini sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan mereka. 

Oleh karena itu, kerajinan anyaman ini dapat dibuat dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti untuk membawa barang kebutuhan sehari-hari, alat pelindung dari panas matahari, dan sebagai pakaian untuk menghangatkan tubuh. 

Manfaat kerajinan ayaman Noken bagi orang Papua sangat penting, terutama dalam menunjang aktivitas pekerjaan mereka sehari-hari.

Orang Papua dan Noken memiliki ikatan sosial yang kuat, terutama antar pengerajin, barang yang dihasilkan,  dan pengunanya. 

Ikatan batin ini melekat karena secara emosional dalam pembuatan Noken secara tidak langsung telah melahirkan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara yang membuat, benda yang dibuat, dan pengunanya (Soekanto, 2006:104).

Dengan demikian, ikatan batin antara pengerajin, Noken, dan penggunanya tak terpisahkan, sebab dalam kerajinan tersebut telah membentuk hubungan yang saling memiliki. 

Maksudnya, Noken sebagai kerajinan tradisional memiliki peran yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, seperti hubungan ikatan antara manusia dengan alam.

Manusia bertindak dengan cara memanfaatkan alam dan lingkungan untuk menyempumakan dan meningkatkan kesejahteraan demi kelangsungan hidup mereka. 

Oleh karena itu, jika menganalogikan Noken dengan alam sangat erat, sebab Noken terbuat dari alam, sehingga kearifan lokal ini melekat dan mempunyai makna khusus bagi masyarakat Papua. 

Begitu pula dengan pengunanya, ketika mereka memakai Noken, maka akan merasakan perasaan kecintaan akan alam dan kampung halaman (Lihat Buku Panduan Dinas Parawisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Papua, 2014:160) (Lihat Juga Dumatubun, 2012).

Selain ikatan batin manusia dengan alam, ikatan batin juga melekat kepada penggunanya. 

Seperti kaum perempuan, mereka membuat Noken biasanya diperuntukan untuk anak-anaknya. 

Hal ini dilakukan juga agar menumbuhkan rasa kecintaan antara ibu dan anak sebagai pakaian untuk kaum perempuan. 

Sebagai lambang ikatan batin antara ibu dan anak, Noken juga merangsang anak untuk mecintai tanah kelahiran. 

Jadi tatkala mereka sedang merantau ke luar kota, Noken mereka pergunakan sebagai alat untuk menumpahkan perasaan rindu pada mama dan tanah leluhur (Pikei, 2012: 34-56). 

Perasaan rindu ini mereka representasikan dengan cara Noken dikalungkan ke leher mereka pada saat melakukan aktivitas, baik bekerja maupun saat kuliah.

Jika menelusuri perkembangan Noken di Papua dapat dilihat melalui dua tahapan proses, pertama melalui difusi, dan kedua melalui akulturasi kebudayaan (Sunarto, 2011: 112), yang mana proses persebarannya dilakukan dari individu ke individu dan dari suatu masyarakat ke masyarakat lain (Soekanto, 2006: 283).

Melalui proses tersebut, lahirlah penemuan-penemuan baru yang dihasilkan, kemudian diterima masyarakat dan disebarkan kepada masyarakat luas, sehingga dapat dinikmati kegunaannya. 

Dalam konteks tersebut, terlihat bahwa difusi kebudayaan telah mendorong pertumbuhan sebuah kebudayaan seperti Noken dalam cakupan yang luas, sehingga kerajinan tangan tersebut dijadikan sebagai identitas kebudayaan bersama orang Papua (Soekanto, 2006: 283-284). 

Oleh karena itu, Noken sebagai salah satu identitas orang Papua harus dipelihara dan diperhatikan.

Kesimpulan

Di Papua Noken dijadikan simbol identitas diri karena kerajinan Noken memiliki ikatan batin yang kuat antarpemakai, barang yang dihasilkan, dan penggunanya.

Ikatan emosional ini terbentuk secara alami, melalui persamaan rasa kecintaan antara pemilik dengan barang yang dihasilkan atau antara pemilik dengan penggunanya. 

Proses pembuatan yang cukup rumit penuh kesabaran dan ketekunan membuat kerajinan ini sangat bermakna karena memiliki nilai historis yang dalam bagi masyarakat pemiliknya.

Saat ini kerajinan Noken sedang mengalami masa transisi.

Kondisi ini terjadi dikarenakan makna dan nilai yang terkandung di dalam Noken semakin memudar. 

Ini dapat dilihat dari bahan baku pembuatan noken yang mengalami pergeseran, yang dahulu bahan pembuatan berasal dari alam, kini beralih menggunakan bahan-bahan modern seperti wol, nilon, dan lain-lain. 

Dengan kemudahan yang diberikan membuat barang ini banyak digemari oleh masyarakat. 

Alasan ekonomis menjadi dasar mereka memilih bahan tersebut. 

Bahan dari pabrik memberikan nilai ekonomis yang tinggi bagi mereka, sebab proses pengerjaan menjadi lebih cepat dan tidak terlampau rumit dibanding dengan menggunakan bahan alami.

Terima Kasih.


Daftar Referensi

Ahimsa-Putra, (2008). Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Borobudur, Beberapa pokok Pikiran, Makalah yang disampaikan dalam Expert Meeting yang diselenggarakan oleh Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, di Borobudur.

Dinas Parawisata dan Ekonomi Kreatif, (2014). Papua: The Home of Tribes and Lind of an  Adventure. Jayapura: Dinas Parawisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Papua.

Dumatubun, A. E(ed)., (2012). Perspektif Budaya Papua. Jakarta: Ihsan Mandiri  berkerjasama dengan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Jayapura Papua.

Kondologit, E. dan Ishak S.P., (2015). Khombow: Lukisan Kulit Kayu Masyarakat Sentani di Kampung Asei Distrik Sentani Kabupaten Jayapura. Yogyakarta: Kapel Press dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua.

Pikei, T., (2012). Cermin Noken Papua; Perspektif Kearifan Mata Budaya Papuani. Nabire: Ecology Papua Institute EPI.

Ritzer, G., and Douglas J.G., (2004). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Soekanto,S., (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Post a Comment